HENDRA TANOEMIHARDJA"S area of contemplation
To write down everything just owned by human to aware our existence, transcendent our thought and therefore to differentiate us with another creatures, included creatures as angels and demons. And our Father made us inferior only to Himself.
AREA OF CONTEMPLATION WITH AWARENESS THAT GOD ALWAYS LOVE AND NEVER ABANDON US.
Lorem ipsum dolor sit dicatum animum explorant plena dilectione Dei notitia , et non derelinquas nos semper.
Tuesday, April 12, 2011
ON THE 80TH DAY AFTER DEPARTED 28 DEC 2011 2011
"suffering has a great value in our lives, as it is only through suffering, we can learn to love others. Stating that suffering is the inner side of love, the Son of God became human and shared fully in our life and our pain. In fact, He chose to redeem the world from sin by not only suffering but even by dying on the Cross. Only the person who has suffered can really understand the suffering of others " (Pope Benedict XVI)
Ketika mengalami masa sulit dimana kepahitan perasaan ditinggalkan seorang isteri yang mengalami hidup bersama selama 36 tahun kurang 2,5 bulan dan telah dikenal sejak 42 tahun, sulit saya dapat menggambarkannya dengan kata-kata. Mengenangnya hampir setiap hari dengan perasaan kepedihan dan kegetiran , terutama sejak sesudah mengetahui bagaimana sakit yang diderita dan dirasakannya, saat penderitaannya selama 20 hari terakhir di rumah sakit dan saat - saat sekarang yang sudah berlangsung selama lima bulan. Perasaan dan hati yang keras benar - benar telah terhancurkan. Dari puluhan tahun yang tidak pernah meneteskan air mata kecuali hanya terharu, menjadi seorang cengeng yang hampir setiap hari mencuci mata dengan bilasan air, karena mata yang lengket dari air mata.
Kucari pengatasan bagaimana semua perasaan dengan melakukan apa yang menurutku bisa menghilangkan beban perasaan ini, kutulis apa saja dalam sacial net-working, dan blogku yang telah kudiamkan dan tak terisi lagi dan terlantar sejak mengetahui Yoreta sakit. Kubuat narasi , poem atau essay sekehendak hatiku. Meski karena menulis segala sesuatu, menulis kritikan terhadap keadaan dan situasi sekitar; mungkin telah membuat kurang nyamannya orang - orang tertentu sampai ada yang mau membawa karena apa yang telah kutulis ini ke polisi, ada lagi yang lainnya menyarankan aku dibawa ke psikiater dan perlu konsultasi. Namun ada juga yang menyarankan menangislah sepuas hati, menulislah segalanya, atau dekapan simpati sebagai sahabat, memberikan cium pipi kanan kiri, menepuk bahu tanpa kata, sampai mensupport via social net work semuanya lebih menghibur daripada saran yang rasanya kurang pas kalau boleh dikatakan agak menyakitkan, namun sebagaimana biasa aku tak perduli dan tidak dendam. Bahkan komentar dan suport dalam social network lebih banyak menghibur. Lucunya juga simpati terhadap apa yang kualami berasal dari banyak orang yang tidak pernah kutemui hanya pertemanan via social net - work, termasuk seorang pastor yang studi di Itali; tidak sedikitpun dari para gembala yang kukenal dan bahwan pernah kuceritakan semasa Yoreta masih hidup. Yang pertama cerita tentang orang lain yang sakit, yang kedua main-main dengan bandul rosario yang konon diperoleh dari tanah suci berlagak seperti pastor Looqman MSC almarhum, dan yang ketiga tidak kuceritakan. Kalau kuceritakan aku benar-benar keledai yang terperosok sampai tiga kali. Namun dalam setiap kesempatan ada ekaristi pastor tamu lainnya, baik yang yoreta dan aku sendiri mengenalnya aku selalu menemui sesudah misa, dan mohon doa dan berkat orang sakit buat Yoreta. Disitu pula aku bisa mengerti bagaimana pribadi-pribadi mereka dengan sikap dan response para "gembala" tersebut. Termasuk mereka yang konon punya karunia penyembuhanYang kukenal disini sekedar ucapan belasungkawa atau condolences . Kucari buku-buku yang relevant dan dapat membantu bagaimana mengatasi perasaan kehilangan ini dengan buku - buku di Gramedia, Borders, Kinokuniya, sampai Amazon.com.
Akhirnya dari sebuah CD "about tomorrow", yang berisi comfort songs and words, kiriman seorang anak muda yang kukenal puluhan tahun lalu dan sekarang tinggal di Montana, bahwa dengan to write down everything adalah suatu pemulihan ke hari esok yang lebih baik untuk self realize dan menuju self release. Hal menulis ternyata adalah suatu yang positif. Bila teman yang menyarankan konsultasi psikiatri karena hal "menulis", barangjkali pengaruh budaya kita yang meski kebanyakan tidak sampai illiterate namun memang disini masyarakat kita adalah masyarakat yang rendah kebiasaan baca atau reading habit-nya, apalagi menulis, kecuali mungkin charting via BB (konon pengguna BB di Indo terbesar didunia), sesuatu perkembangan yang luar biasa di Indonesia. Hampir sebulan dalam pelarianku ke Singapura-pun kulihat bahwa pemakai BB disanapun tidak seperti disini. Smart phone dan I-phone kelihatannya lebih banyak digunakan baik di MRT, mal, maupun library. Selama dalam pelarian perasaan ini kunapak tilas tempat-tempat yang pernah kudatangi bersama dengan Yoreta, kadang kusengaja berjalan kaki hampir seharian. Kucari selingan sebagai refreshment, dan agak berhasil meski tidak signifikant mengurangi. Disana akau dapat tidur secara normal, dibandingkan disini yang sering tertidur menjelang azan jam 4 pagi. Kuikuti bible class yang menarik disana sebanyak 2 sesi dari program 3 sesi karena yang ketiga ditunda sehubungan dengan pastornya berangkat ke Vatican untuk beatifikasi John Paul II. Hampir kuiikuti suatu workshop "beginning experience" week end yang pendirinya seorang suster biarawati untuk mereka yang heartache karena ditinggalkan suami/isteri/divorce/single parent, dsb. Ketika kulihat dalam websitenya, ada semacam ketakutan atau boleh jadi suatu paranoia bahwa disitu juga ajang untuk pertemanan atau mencari pasangan. Seperti yang pernah kutulis pada tulisan lalu, kucoba mempulai perjalanan hidupku tanpa pasangan, yang memang adalah soul mate yang dianugerakan Tuhan kepadaku untuk selama perjalanan hidup perkawinan membuat pribadi menjadi lebih baik, dan juga sebenarnya membentuk kepribadian dan juga secara bersama mengarungi kehidupan spiritual. Dengan bertambahnya umur diusiaku yang menjelang 63, akan kucoba hidup sesuai nasihat dan anjuran para sahabat, buku-buku spiritual dan self healing menjalani perjalanan hidup terutama dalam perjalanan hidup spiritual yang lebih baik. Dihancurkan dan mengalami suatu mystical experience sebagaimana banyak cerita bahwa barangkali juga aku mendapat pertolongan Tuhan dalam meningkatkan iman, harapan dan kasih terhadap sesama.Hanya ddengan penderitaan yang kita alami kita lebih dapat menghayati peenderitaan orang lain dan baerangkali juga lebih mengasihi sesama.
Berkat dari Tuhan dan puji syukur kepada Bapa yang maha Baik, bahwa selama keabnormalan keadaan ini dimana memang rohani dan soul yang sakit, aku diberi kesehatan yang baik meski berat badan telah turun sepuluh percent aku merasa physik yang sehat, kurang tidur namun tidak capai atau fatique, tidak pernah sakit atau flu, tidak merasa kelaparan meski kurang makan. Seorang teman yang mempunyai expertise dalam meditasi menguatkan aku untuk mengembangkan bahwa ini semua adalah bimbingan Tuhan untuk kearah spiritual yang lebih baik. Akankah terjadi. Apakah aku dengan dihancurkan akan mengalami suatu mystical experience, dengan beban perasaan kepedihan yang tercampur aduk dengan perasaan frustrasi, marah, guilty feeling, perasaan berdosa, penyesalan ini membuat keadaan rohaniku yang sakit kearah suatu perbaikan , suatu kesehatan mental dimana rohani juga dibawa kepada pengharapan dan kasih Tuhan yang begitu besar meski kita kadang kita tidak mengerti kehendaknya, suatu spirual maturity dalam perjalanan hidup yang fana ini. Dimana emosi dan perasaan dihancurkan untuk sesuatu yang lebih baik dalam kehidupan spiritual. Karena dan melalui penderitaan, budi dan iman mencari sesuatu yang bersifat lebih tinggi dan dapat menemukan rasa damai, pengendalian diri, dan dapat berbuat sesuatu yang lebih untuk orang lain. Hanya kuingin kusadari bahwa Tuhan memanggil kita secara personal karena Dia mengenal kita sebelum kita dilahirkan, sebelum kita dibentuk dalam rahim ibu, dimana rambut kepala kita juga terhitung, dan nama kita tertulis dalam telapak jariNya. Whenever we don't know what to do, He will make a way.
"Man is not the lord of beings. Man is the shepherd of Being. Man loses nothing in this "less"; rather, he gains in that he attains the truth of Being. He gains the essential poverty of the shepherd, whose dignity consists in being called by Being itself into the preservation of Being's truth." (Martin Heidedegger in Letter on Humanism, 1964)
Heidegger begins question: ''Why is there anything rather than nothing? He speaks of three moods that raise this great question. They are three metaphysical moods, three moods that reveal not just the feelings of the individual but also the meanings of being. And these three are the three metaphysical moods that give rise to the three philosophies of life that we find in Ecclesiastes, Job, and Song of Songs. Heidegger says,
"Why is there anything rather than nothing?"...
Many men never encounter this question, if by encounter we mean not merely to hear and read about it as an interrogative formulation but to ask the question, that is, to bring it about, to raise it, to feel its inevitability.
And yet each of us is grazed at least once, perhaps more than once, by the hidden power of this question, even if he is not aware of what is happening to him. The question looms in moments of great despair, when things tend to lose all their weight and all meaning becomes obscured. Perhaps it will strike but once like a muffled bell that rings into our life and gradually dies away. It is present in moments of rejoicing, when all the things around us are transfigured and seem to be there for the first time, as if it might be easier to think they arc not than to understand that they are and are as they are. The question is upon us in boredom, when we are equally removed from despair and joy, and everything about us seems so hopelessly commonplace that we no longer care whether anything is or is not--and with this the question "Why is there anything rather than nothing?" is evoked in a particular form.
But this question may be asked expressly, or, unrecognized as a question, it may merely pass through our lives like a brief gust of wind.
Despair is Job's mood. His suffering is not only bodily but also spiritual. What has he to look forward to except death? He has lost everything, even God--especially God, it seems.
(Three Metaphysical Moods by Peter Kreeft - Ignatius Press Books)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
MAP I HAD BEEN THERE
- View my profile
- Create your own travel map or travel blog
- Travel Info at TripAdvisor
No comments:
Post a Comment