An olive tree like at Mediteranean , picture by hendra boeniardi
Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya. Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak terdapat dalam mulut-Nya. Ketika Ia dicaci-maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika IA menderita, ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil. Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh. Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu ( 1Petrus 2:21-25 ).
Film The Passion of the Christ (berasal dari kata latin "passusâ" yang artinya menderita ) yang menggambarkan kesengsaraan Yesus dari Taman Getsemane sampai Golgota diselingi beberapa flashback. Film yang dialognya menggunakan bahasa latin dan aram itu memang sukses dan disebut sebagai film tentang Paskah yang paling banyak dikunjungi sepanjang sejarah. Namun film yang dibiayai dan disutradarai Mel Gibson ini kontroversial karena dibalik kenyataan dielu-elukan di banyak gereja, ia juga banyak dicerca dimana-mana. Mel Gibson adalah seorang penganut Roma Katolik yang ultra konservatif, rajin berpuasa, tetap berpegang liturgi RK dalam bahasa latin, menafsirkan ayat-ayat Alkitab secara harfiah.dan menolak beberapa perubahan RK yang dihasilkan Konsili Vatikan II. Sebagai seorang tradisionalis yang mempercayai simbolisme ibadat ia merasa digerakkan Roh Kudus dan bermeditasi tentang penderitaan dan kematian Yesus, dan bertekad mengabadikannya pada layar lebar, karena dengan berbuat demikian, ia merasakan luka-luka Yesus menyembuhkan luka-lukanya. Iamenafsirkan penderitaan Yesus dalam Injil secara harafiah, dan memasukan dalam ceritanya penglihatan biarawati Maria dari Agreda di Spanyol (1602-1665) dan terutama Anne Catherine Emmerich dari Perancis (1774-1824) yang penglihatannya dibukukan dengan judul "The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ". Yang terakhir ini memiliki stigmata (tanda-tanda parut Yesus) di dahi, tangan, kaki dan dada. Dukungan bahkan datang dari Paus John Paul II yang memuji film ini seperti apa adanya, dan Billy Graham sendiri sempat menangis ketika melihat salah satu adegan film itu dan berkata bahwa film ini adalah a lifetime of sermonsin one movie. Namun, para pengkritik menyebutkan bahwa Gibson menyajikan film yang secara historis tidak akurat. Bila sejarawan seperti Josephus, Tacitus menyebut bahwa Pilatuslah yang menghukum Yesus dan Philo menyebut Pilatus seorang yang keras kepala dan kejam, dalam film ini digambarkan sebaliknya bahwa Pilatus kelihatannya lemah (bahkan terpengaruh isterinya yang dalam film ini digambarkan bersimpati kepada Yesus bahkan memberikan handuk kepada kedua Maria untuk menyeka darah Yesus). Maria Magdalena dalam film ini diidentikkan dengan perempuan yang berzinah padahal Alkitab tidak menyebutkan begitu, bahkan pada waktu di taman Getsemane Iblis digambarkan menemui Yesus padahal Alkitab menyebut Malaekat yang mendatangi Yesus (Luk.22:43). Bahasa Yunani sama sekali tidak digunakan dalam film ini termasuk juga absennya tulisan Yunani di atas kayu salib disamping Aram (Ibrani) dan Latin padahal Yunani Koine adalah bahasa pengantar kala itu. Film ini sangat menonjolkan Kayafas dan orang-orang Yahudi sebagai aktor di balik pembunuhan Yesus. Itulah sebabnya banyak orang mengkritik film ini sebagai anti-Yahudi. Kritik anti-Yahudi yang ditujukan kepada Gibson tidaklah terlalu salah, soalnya memang ada kesan stereotip demikian kalau seseorang melihat film ini. Gibson memanfaatkan dukungan kaum Injili (evangelical) untuk mempromosikan filmnya, tetapi ia tidak mengundang kalangan Yahudi. Salah satu adegan yang menunjukkan masa Yahudi yang marah dan mengatakan "Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kamiâ" (Mat. 27:25) karena dikritik pedas akhirnya dicabut oleh Gibson pada pemutaran perdananya. Majalah Newsweek (March 8, 2004) menyebut film ini sebagai: The most divisive movie in history. Film ini juga dikritik sebagai menonjolkan sadisme secara berlebihan, dan rasa di luar porsi fakta historisnya. Sadisme ditonjolkan secara berlebihan dan dalam waktu lama, terutama ketika Yesus dianiaya didepan pengadilan Pilatus, Ia dilempar ke sumur, dan juga ketika harus mengangkat kayu salib dan dipaku. Kesadisan ini berdampak banyak orang menangis dalam gedung, banyak yang keluar dari gedung bioskop ketika menyaksikan adegan yang sadis, bahkan
ada beberapa orang mati kena serangan jantung ketika menyaksikan drama tangan & kaki Yesus dipaku. Gibson memang sengaja menonjolkan kekejaman yang begitu hebat untuk mendorong penonton sampai ˜melampaui batas" agar mereka merasakan pengorbanan Kristus secara nyata. Roger Elbert, kritikus film dari Chicago Sun-Times sekalipun memuji aspek tertentu film ini, kelihatannya mewakili banyak pengamat yang menyebut film ini penuh kekejaman. Ia mengatakan: I said the film is the most violent I have ever seen. It will probably the most violent you have ever seen. This is not a criticism but an observation; the film is unsuitable for younger viewers, but works powerfully for those who can endure it. Sangat disayangkan bahwa film yang tergolong sadis ini ikut dipopulerkan oleh kalangan Injili Amerika dan dipromosikan di gereja-gereja. Wakil dari perusahaan Gibson menjelaskan bahwa promosi the Passion ke para pemimpin agama lebih merupakan interes pemasaran daripada penginjilan, dan Terry Mattingly, seorang kritikus film menyayangkan langkanya sikap kritis di kalangan protestan konservatif. Sekalipun banyak pendeta yang mempromosikan film ini sebagai meneguhkan iman, sejauh ini belum ada bukti yang menunjukkan bahwa ucapan rasul Petrus dalam suratnya di awal renungan ini terpenuhi. Rasul Petrus menekankan penderitaan Yesus agar dijadikan teladan agar kita mengikuti jejaknya, namun film ini cuma membakar sentimen agama tetapi tidak mengubah perilaku umat Kristen yang hedonistis menjadi umat yang sederhana. Tidak disangkal bahwa film ini benar-benar membakar emosi penonton tetapi diragukan apakah film ini juga mengubah perilaku penonton itu menjadi baru. Memang sejak lama kaum fundamentalis Amerika memiliki standar ganda, di satu segi mereka sangat membela negara Yahudi dalam setiap tindakannya terhadap Palestina, disegi lain mereka juga membela film yang notabene menyudutkan umat Yahudi yang membunuh Yesus. Di satu segi mereka ingin dunia tahu bahwa Yesus menderita dan mati disalib tanpa membela diri, tetapi di segi lain mereka justru membela Bush dalam politik perangnya yang mengadili dan menghanguskan Irak. Film ini banyak memasukkan cerita karangan Gibson dari drama penderitaan Yesus, seperti pemberian peran kepada kedua Maria dalam situasi penyaliban dan mengabaikan Maria ketiga (Kleopas), Yudas cukup lama dianiaya geng anak-anak, tentara yang menyebut Yesus Raja Cacing, dan penjahat yang ikut disalib matanya dipatok burung. Penonjolan aspek negatip juga terjadi seperti Iblis yang meragukan Yesus bisa menebus semua manusia, dan Simon Kireni yang membantu mengangkat salib mengaku: Aku orang tak bersalah harus mengangkat salib orang terhukum. Penderitaan Yesus juga dibuat jauh melebihi kebenarannya dan jelas merupakan manipulasi sejarah yang bisa memberi kesan penyimpulan yang berbeda dengan kalau seseorang membaca Injil. Memang pekabaran Injil membutuhkan penyajian cerita tentang salib dan penderitaan Yesus, tetapi kalau penderitaan itu dilebih-lebihkan dan didramatisir diluar kebenarannya, maka berita itu menjadi kebohongan. Sebaliknya hal-hal penting pengajaran Yesus mengenai kasih, pengharapan, kebenaran, dan keadilan nyaris tidak ada dalam film ini. Akhir cerita hanya menyingkapkan selintas Yesus yang bangkit (yang hanya bisa dimengerti mereka yang mengenal cerita Alkitab), padahal ke-39 hukuman cambuk yang diperintahkan Pilatus nyaris semuanya ditunjukkan dengan disertai kebrutalan tentara Romawi disertai rasa kesakitan Yesus dan darah yang muncrat, inipun sering ditonjolkan dengan adegan yang diperlambat! Pesan Mel Gibson mengenai penderitaan Yesus lebih banyak menonjolkan kesadisan pederitaan fisik tetapi nyaris tidak mengungkapkan makna dan untuk apa penderitaan dan kematian Yesus itu. Gibson mengesankan dalam film ini bahwa Yesus mati karena intrik-intrik politik perebutan kekuasaan antara Pilatus (Romawi) dan Kayafas (Yahudi), padahal makna penebusan Yesus yang dikulminasikan dalam kematian-Nya di kayu salib untuk umat manusia tidak terungkap. Film ini hanya memuaskan emosi jiwa masyarakat yang sedang sakit yang sudah lama disuguhi film-film sadis. Gibson memang bukan bermaksud untuk mengabarkan Injil karena film ini semua prosesnya ditujukan untuk mencari untung sama halnya dengan pembuatan film pada umumnya, ia lebih banyak mengeksploitasi sentimen keagamaan untuk mempopulerkan bisnis filmnya. Berita Injil para rasul sejak masa "passionâ" tidak banyak menekankan penderitaan Yesus, tetapi lebih berpusatkan Yesus yang Bangkit.
HENDRA TANOEMIHARDJA"S area of contemplation
To write down everything just owned by human to aware our existence, transcendent our thought and therefore to differentiate us with another creatures, included creatures as angels and demons. And our Father made us inferior only to Himself.
AREA OF CONTEMPLATION WITH AWARENESS THAT GOD ALWAYS LOVE AND NEVER ABANDON US.
Lorem ipsum dolor sit dicatum animum explorant plena dilectione Dei notitia , et non derelinquas nos semper.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
MAP I HAD BEEN THERE
- View my profile
- Create your own travel map or travel blog
- Travel Info at TripAdvisor
No comments:
Post a Comment